Mana yang lebih sulit, mengelola amarah sendiri atau menghadapi orang lain yang sedang marah?
Dua-duanya sulit, tapi berbeda cara menghadapinya.
Namun, buatku seringnya lebih sulit menghadapi orang lain marah. Kenapa? Karena aku tidak tahu isi kepala dan isi hati dia yang sesungguhnya. Bahkan, meski aku bertanya, kadang aku masih meragukan jawabannya.
Bisa jadi itu salahku, karena terlalu skeptis. Tapi, semakin ditepis, semakin sering munculnya. Jadi, aku menyebutnya intuisi. Intuisi bahwa ada yang sedang tidak baik-baik saja.
Seberapa banyak orang yang sama denganku? Aku tidak tahu. Barangkali, salah satunya adalah kamu.
Seringnya orang memilih diam ketika menghadapi amarah orang lain. Jika memang situasi sudah memungkinkan, baru bisa bertanya. Itu pun bisa dilakukan jika memang benar-benar peduli. Kalau tidak seberapa peduli terhadap yang sedang marah, maka membiarkannya saja, tidak mau tahu urusannya… hehehe…
Begitulah, orang akan memperjuangkan yang memang penting dan layak untuk diperjuangkan. Jika memang tidak, ya sudah, dilepaskan saja. Bukan tidak ingin menjadi orang baik, tapi itu hanya bentuk menghargai pilihan orang lain untuk tidak lagi memiliki urusan bersama.
Memang tidak semua orang pandai menyampaikan perasaannya, menceritakan masalahnya. Euum.. mungkin bukan karena tidak pandai, tapi tidak nyaman, atau ada hal lain yang membuatnya kesulitan berekspresi.
Itulah, ada yang memang peduli lalu membantunya bercerita. Jika pun itu adalah hal yang menyakitkan bagi yang mendengarkan, ya akan didengarkan saja dan akan tetap menghargainya. Sedih atau tidak, luka atau tidak, itu sudah menjadi urusan orang yang mendengarkan, kan?
Intinya keinginannya hanya untuk mendengarkan. Jika kemudian ia memilih untuk berempati atau bersimpati, sudah bukan menjadi kuasa yang bercerita lagi. Setidaknya, segala hal bisa menjadi lebih baik, tidak menjadi asumsi.
Dan yang paling penting, tidak sama-sama pusing… :))